Singapura, Dahulu, cangkok jantung menjadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasien gagal jantung stadium akhir. Namun karena donor sulit dicari, maka dicarilah alternatifnya. Pasien tetap bisa hidup, tapi tidak memiliki denyut nadi.
Tanpa harus dicangkok, pasien gagal jantung kini bisa bertahan hidup dengan bantuan alat bantu yang disebut Left Ventricular Assist Device(LVAD). Alat yang ditanam di jantung dan digerakkan dengan tenaga baterai ini membantu fungsi jantung untuk memompa darah.
Berbeda dengan kerja jantung asli, alat ini bekerja memompa jantung secara kontinyu sehingga nadi tidak tampak berdenyut. Pasien pun semakin tampak seperti robot, karena di ke mana pun ia pergi akan selalu membawa seperangkat baterai agar jantungnya bisa tetap bekerja.
"Jantung normal bekerja seperti ini, bup.. bup.. bup.. Jadi ada denyutnya. Jantung mekanis ini bekerja seperti mesin turbin, seperti jet. Continuous, sehingga tidak punya denyut nadi," Dr Kelvin Loh, Chief Executive OfficerMount Elizabeth Hospital di sela seminar ilmiah kedokteran di Mandarin Orchard, Singapura, seperti ditulis Senin (12/11/2013).
Pemasangan alat ini awalnya hanya solusi sementara, tetapi kini sudah bisa disebut destination therapy. Artinya, alat ini bisa dipakai selama mungkin selama baterainya masih berfungsi. Pasien yang menggunakan alat bantu ini tetap bisa hidup normal, meski ke mana-mana harus membawa baterai dan rajin mengisi ulang agar jantungnya tetap bisa memompa darah.

Dr Cumaraswamy Sivathasan, seorang konsultan bedah jantung dan pembuluh darah mengatakan bahwa alat ini bisa mengatasi kelangkaan donor jantung yang selama ini dihadapi, khususnya di negara-negara Asia. Tanpa alat ini, pasien gagal jantung tanpa akhir yang tidak mendapat cangkok jantung berisiko meninggal dalam waktu 8 bulan hingga 1 tahun.
Menurut Dr Sivathasan, pemasangan LVAD di Asia paling banyak dilakukan di Singapura yakni 41 kali untuk warga negara tersebut dan 6 kali untuk orang asing. Tempat lain di Asia yang sudah mampu melakukan pemasangan alat ini antar lain Kuala Lumpur, Hong Kong, Taiwan, Jepang.
Biayanya tentu tidak murah, sebab alatnya sendiri dijual sekitar SGD 165.000 atau sekitar Rp 1,5 miliar. Perkiraan total biaya termasuk perawatan selama 14-28 hari dan ongkos dokter bedah di Mount Elizabeth Hospital maupun Mount Elizabeth Novena Hospital adalah SGD 440.000 - SGD 620.000 (sekitar Rp 4 miliar - Rp 5,6 miliar).
"Sekitar 50 persen biaya yang dibutuhkan adalah untuk perawatan di rumah sakit, sebelum, selama, dan setelah pemasangan alat," kata Dr Sivathasan.
Tanpa harus dicangkok, pasien gagal jantung kini bisa bertahan hidup dengan bantuan alat bantu yang disebut Left Ventricular Assist Device(LVAD). Alat yang ditanam di jantung dan digerakkan dengan tenaga baterai ini membantu fungsi jantung untuk memompa darah.
Berbeda dengan kerja jantung asli, alat ini bekerja memompa jantung secara kontinyu sehingga nadi tidak tampak berdenyut. Pasien pun semakin tampak seperti robot, karena di ke mana pun ia pergi akan selalu membawa seperangkat baterai agar jantungnya bisa tetap bekerja.
"Jantung normal bekerja seperti ini, bup.. bup.. bup.. Jadi ada denyutnya. Jantung mekanis ini bekerja seperti mesin turbin, seperti jet. Continuous, sehingga tidak punya denyut nadi," Dr Kelvin Loh, Chief Executive OfficerMount Elizabeth Hospital di sela seminar ilmiah kedokteran di Mandarin Orchard, Singapura, seperti ditulis Senin (12/11/2013).
Pemasangan alat ini awalnya hanya solusi sementara, tetapi kini sudah bisa disebut destination therapy. Artinya, alat ini bisa dipakai selama mungkin selama baterainya masih berfungsi. Pasien yang menggunakan alat bantu ini tetap bisa hidup normal, meski ke mana-mana harus membawa baterai dan rajin mengisi ulang agar jantungnya tetap bisa memompa darah.
Dr Cumaraswamy Sivathasan, seorang konsultan bedah jantung dan pembuluh darah mengatakan bahwa alat ini bisa mengatasi kelangkaan donor jantung yang selama ini dihadapi, khususnya di negara-negara Asia. Tanpa alat ini, pasien gagal jantung tanpa akhir yang tidak mendapat cangkok jantung berisiko meninggal dalam waktu 8 bulan hingga 1 tahun.
Menurut Dr Sivathasan, pemasangan LVAD di Asia paling banyak dilakukan di Singapura yakni 41 kali untuk warga negara tersebut dan 6 kali untuk orang asing. Tempat lain di Asia yang sudah mampu melakukan pemasangan alat ini antar lain Kuala Lumpur, Hong Kong, Taiwan, Jepang.
Biayanya tentu tidak murah, sebab alatnya sendiri dijual sekitar SGD 165.000 atau sekitar Rp 1,5 miliar. Perkiraan total biaya termasuk perawatan selama 14-28 hari dan ongkos dokter bedah di Mount Elizabeth Hospital maupun Mount Elizabeth Novena Hospital adalah SGD 440.000 - SGD 620.000 (sekitar Rp 4 miliar - Rp 5,6 miliar).
"Sekitar 50 persen biaya yang dibutuhkan adalah untuk perawatan di rumah sakit, sebelum, selama, dan setelah pemasangan alat," kata Dr Sivathasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar